Beriman Secara Radikal (2)

Beriman Secara Radikal (2)

P. Hermanus Mayong, OFMCap

PENGALAMAN PASKAH DAN KEMURIDAN SETELAH PASKAH

Bagian kedua kisah Emaus menunjukkan model kemuridan baru akan Yesus. Begitu mereka melihat dan mengenali Tuhan yang bangkit, nada suara dan ritme mereka berubah total. Ritme yang semula loyo segera saja berubah menjadi hidup: segera mereka bangkit berdiri dan berlari ke Yerusalem. Mereka berbalik dari keadaan tercerai berai dan berkumpul kembali dalam komunitas. Segala sedih dan putus asa berubah menjadi kegembiraan dan antusiasme “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon. Lalu kedua orang itu pun menceritakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecahkan roti.” (Luk 24: 34-35).

Dalam diri mereka, dimulailah sejarah kristianitas yang sejati, sejarah kemuridan akan Yesus yang baru dan final. Kemuridan ini dijiwai oleh iman Paskah. Kisah para rasul memberi gambaran yang mengagumkan tentang fakta tersebut. Para murid tetaplah orang yang sama seperti sebelumnya- dengan kelemahan manusiawi yang sama pula- tetapi mereka sekarang dijiwai oleh kekuatan Roh Kudus. Ketakutan mereka akan salib berbalik menjadi sukacita untuk menderita bersama Kristus. Dari keterceraiberaian mereka dipanggil kembali untuk bergabung dalam komunitas. Dari keadaan melarikan diri, mereka dipanggil kembali untuk menjadi murid setia Yesus dan mempertahankan kemuridan meski sampai mati atau menjadi martir.

Pengalaman paskah memampukan para rasul sampai pada kesimpulan yang sungguh: “Dialah yang harus kita ikuti”; “Dialah jalan.” Dengan iman dan pengalaman paskah dimulailah era baru kemuridan yang radikal.

Bila kita melihat tuntutan-tuntutan kemuridan secara mendalam, kita harus melontarkan pertanyaan-pertanyaan: Di manakah kita berjumpa dengan Tuhan yang bangkit? Iman paskah adalah anugerah, tetapi, apa yang harus kita perbuat agar dapat sampai pada pengalaman paskah tersebut?

Hidup beriman kita akan lebih membahagiakan jika kita mempunyai harapan akan kebahagiaan itu. Harapan itu perlu dibina lewat keyakinan dan iman kita bahwa Tuhan yang memanggil kita adalah Tuhan yang setia, yang akan menyertai kita sampai akhir zaman. Kecuali lewat iman, harapan itu dapat dipupuk lewat kasih kepada Tuhan dan sesama. Kasih itu yang akan semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa Tuhan mencintai dan dekat dengan kita.

Secara rohani, harapan untuk tidak mudah frustrasi dan putus asa perlu dipupuk lewat usaha menjalin relasi pribadi dengan Tuhan lewat kegiatan rohani, doa pribadi dan bersama, mati raga. Sekaligus dibina melalui usaha kasih kepada Tuhan dan sesama. Melalui tindakan baik, hidup baik, membangun persaudaraan yang baik akan membantu kita untuk berani menatap tantangan yang ada.

Dalam krisis ekonomi dan politik yang tidak menentu, masyarakat menjadi mudah putus asa. Para lulusan sarjana sulit mencari kerja karena memang lapangan kerja tidak banyak, sedangkan yang lulus setiap tahun ribuan. Para jebolan SMU lebih banyak menganggur. Penanganan korupsi tak kunjung henti, dan kebanyakan kasus akhirnya mengambang menjadi legenda saja. Situasi itu semua banyak menyebabkan orang mudah stress, sulit untuk melihat bahwa di masa depan masih ada harapan terang bagi mereka.

Dalam situasi seperti itu, diperlukan orang-orang yang tetap tabah, tetap berharap, dan tidak dipengaruhi oleh situasi yang jelek tersebut. Di sinilah para pengikut Yesus diharapkan menjadi contoh kehidupan akan harapan itu. Jika kita dalam situasi berat seperti ini tetap punya harapan dan kegembiraan untuk terus berjuang, banyak orang akan menimba kekuatan dan terpacu untuk tabah dalam perjuangan. Dalam hidup yang masih berharap itulah kita akan menjadi tanda eskatologis akan hidup bersama Allah di masa depan. Kegembiraan kita akan menjadi saksi bahwa memang hidup bersama Allah sungguh memberikan harapan dan kegembiraan karena pegangan kita bukan barang-barang duniawi, tetapi kepada Allah Sang Sumber Harapan sendiri.

Sebaliknya, jika dalam situasi krisis ini, kita malah gampang putus asa, akan lebih memperberat situasi muram tersebut. Dalam keadaan seperti itu, orang akan sulit merasakan bahwa kita sungguh hidup berpegang kepada Tuhan sendiri. Maka, tanda eskatologis itu tidak tampak lagi.

Radikalisme berarti iman yang mendalam, konsisten dan kokoh, di musim panas atau pun di musim dingin, saat malam gelap maupun fajar terang. Radikalisme berarti bersikap konsisten dengan proyek hidup injili. Radikalisme berarti menghindarkan diri dari sikap bermain-main dengan bermuka dua; radikalisme berarti menarik diri dari ambiguitas kehidupan dan hasrat untuk mengabdi kepada dua tuan. Radikalisme injili dapat berdamai dengan kelemahan tetapi bukan dengan kepura-puraan, atau terutama dengan tipuan mengecoh. Radikalisme berarti memeluk erat-erat injil dan tuntutan-tuntutannya dalam setiap proyek kehidupan. Pencobaan berat bagi para pengikut Yesus, orang kristen maupun para imam adalah mengingkari injil.

Krisis hidup beriman masa kini bukanlah terbatas pada persoalan disiplin, asketis atau pun moral, meski persoalan tersebut mencakup semua unsur-unsur tersebut. Krisis hidup beriman yang sebenarnya bersifat teologis: kekurangan landasan iman atau akar yang memberi makna atau konsistensi. Krisis yang sebenarnya adalah krisis radikalisme; kekurangan pengalaman akan Allah yang memadai untuk mempertahankan proyek dan menjamin hasilnya; kekurangan kemampuan absolut untuk memberi arah, mempersatukan dan memberi makna pada seluruh proyek hidup. Krisis tersebut adalah krisis iman dan, dengan demikian, krisis makna. Dalam hidup beriman, jika tidak ada iman, hilang pula makna semuanya. Kekurangan makna adalah akar malam gelap hidup beriman di masa kini.

Iman radikal adalah menjadikan pribadi Yesus sebagai pusat atau akar hidup kita. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, merumuskan proyek hidup kristiani dalam kata-kata berikut ini: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur” (Kol 2: 6-7).

Pada akhirnya, iman yang radikal menuntut cinta yang teguh dan mendalam kepada Yesus. Petrus, sebelum paskah, menyangkal Yesus 3x, tetapi sebanyak tiga kali pula, Petrus setelah paskah, menyatakan cintanya kepada Yesus. Penyangkalan terjawab oleh pengakuan cinta. Tiga kali Yesus bertanya kepadanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Dan tiga kali pula Petrus menjawab: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”. Iman Petrus yang radikal, kini, memperoleh sebuah bentuk cinta yang radikal. Kini, Petrus sungguh-sungguh siap untuk mengikuti Yesus sampai mati. Penginjil Yohanes menuliskan, “Hal ini dikatakanNya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku” (Yoh 21:19).

Cinta adalah meninggalkan diri sendiri, menyangkal kepentingan-kepentingan pribadi dan menjadikan orang lain sebagai pusat diri. Itulah iman yang radikal. Tanpa iman dan cinta yang radikal, menjalankan perintah-perintah Allah dan menghidupi nasehat-nasehat Injil adalah tugas yang tidak mungkin. Mencintai yesus adalah menemukan makna di dalam Yesus. Mencintai Yesus berarti percaya kepadaNya, mengikuti jejak kaki-Nya, mengambil nasib-Nya dan dipersatukan dalam rencana keselamatanNya bagi umat manusia. Penginjil Matius mengingatkan kita bahwa cinta Yesus menjelma atau menjadi sakramen dalam cintaNya kepada semua orang, terutama kepada sesama yang paling hina. (Lihat bagian pertama…)