Beriman Secara Radikal (1)
P. Hermanus Mayong, OFMCap
Radikal sudah menjadi istilah yang umum dipakai. Ada sekian banyak salah paham yang muncul dari penggunaan istilah itu sendiri. Ambiguitasnya telah membuahkan kosakata populer teologis yang di satu sisi dipuja-puja tetapi di sisi lain dilecehkan pula. Ketika kita berbicara tentang radikalisme injili, radikalisme tidak berarti kekerasan atau sikap yang agresif.
Tak seorang pun dapat dikatakan sebagai radikal secara injili karena telah bersikap lebih teliti pada aturan seperti orang Farisi, bukan pula karena lebih taat pada aturan, atau seseorang yang menafsirkan segalanya dari kacamata hitam dan putih belaka. Gandum dan ilalang tumbuh bersama. Radikalisme injili tidak pernah berarti tidak toleran.
PARA MURID DI EMAUS: KEMURIDAN SEBELUM PASKAH
Kisah para murid di jalan ke Emaus adalah kisah yang penuh dengan ungkapan kasih dan sikap yang terus terang. Kisah tersebut seringkali dilihat secara romantis dalam meditasi karena menceritakan sebuah pertemuan yang hangat dan berisi kata-kata yang menguatkan, sikap keramahtamahan di senja hari, memecah roti dalam sebuah perjamuan makan dan peziarahan. Kisah tersebut biasa dikaitkan dengan katekese, ekaristi, persaudaraan dan keramahtamahan. Akan tetapi, ada aspek lain dalam kisah tersebut yang memampukan kita untuk memahami kemuridan akan Yesus, dan malam gelap para murid, dulu dan sekarang.
Kisah tersebut memberi terang akan adanya dua model kemuridan: kemuridan sebelum paskah dan paskah atau kemuridan setelah paskah. Bagian pertama kisah itu menceritakan tentang keadaan kemuridan sebelum paskah, yakni, kemuridan akan Yesus historis; sebuah kemuridan yang berakhir dengan kegagalan total. Wujud-wujud kekalahan para murid amat beragam: mereka berbalik, kembali pada pekerjaan semula, berjalan dengan muka muram dan kecewa, pandangan mata mereka terhalangi oleh sesuatu. Para murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus mengalami “khaos”. Kekecewaan dan keputusasaan mereka terungkap dalam tafsir mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang mereka alami: “padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semua itu terjadi…Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat” (Luk 24: 21-24).
Akhir dari kemuridan sebelum paskah adalah ketidakpercayaan, skandal, lari dari komitmen dan keputusasaan. Kemuridan semacam itu tidak mampu menembus malam gelap salib dan pencobaan salib; bukan pula kemuridan yang mampu menghadapi khaos. Yesus adalah pemersatu dan sumber kekuatan kelompok tersebut; Dialah yang menopang keberadaan komunitas. Oleh karena itu, setelah kematian-Nya, para murid tercerai-berai. Para murid bubar, meninggalkan komunitas dan kembali ke gaya hidup mereka yang lama.
Tak seorang pun dapat menyangkal niat baik atau kedermawanan mereka yang mengikuti Yesus selama Ia hidup di dunia. Barangkali beberapa motivasi mereka mengikuti Yesus: kekaguman akan pribadi Yesus; harapan-harapan mesianis; harapan akan seorang nabi yang menghidupkan kembali roh kenabian yang telah hilang di Israel; kebutuhan akan adanya seorang pemimpin yang akan memimpin pemberontakan terhadap penjajah asing; mencari penghiburan bagi bangsa Israel. Beberapa orang mengikuti Dia “karena kamu telah makan roti dan kamu kenyang” (Yoh 6: 26). Seringkali alasan kemuridan adalah penyembuhan.
Sementara itu, kelompok dua belas rasul tampaknya punya kepentingan pribadi. Petrus, melontarkan pada Yesus, mengucapkan kata-kata berikut ini: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Dalam perjalanan menuju Yerusalem dan ketika Yesus memberitakan sengsara-Nya, dua orang murid-Nya memperebutkan posisi utama dan kesepuluh murid lainnya marah karena mereka menginginkan pula hal tersebut (Mat 20:20-28).
Di sisi lain, Injil berulang kali menyatakan bahwa para murid “tidak mengerti”. Dalam pengertian yang paling dalam, “tidak mengerti” berarti bahwa “mereka tidak mengerti misteri penyelamatan”. Keadaan di mana mereka kurang mengerti adalah sifat khas kemuridan sebelum paskah.
Injil dengan jelas memperlihatkan hasil akhir kemuridan sebelum paskah. Segera saja, orang banyak yang mengikuti Yesus kecewa dan meninggalkan Dia. Para murid memang mengikuti Dia sampai ke Yerusalem, tetapi mereka gagal mengerti dan gagal dalam ujian ketika saatnya kebenaran tiba, penderitaan salib. Di saat yang lain meninggalkan Yesus, Petrus masih berbuat sesuatu dengan “mengikuti Dia dari kejauhan”, tetapi penyangkalan adalah akhir dari keikutsertaan Petrus tersebut dengan sumpah: “Aku tidak tahu, apa yang engkau maksud..Aku tidak kenal orang itu.” Ketika saatnya kebenaran tiba, yang dialami oleh para rasul justru ketakutan. Kemuridan sebelum paskah berakhir dengan keraguan. Thomas adalah prototipe murid yang tidak percaya. Ketakutan, keraguan dan ketidakpercayaan membuat mereka melihat segala sesuatu sebagai fantasi belaka. (Mat 14: 26).
Kemuridan sebelum paskah tidak sesuai dengan iman dan perutusan para rasul. Mungkinkah situasi yang sama dialami pula oleh para pengikut Yesus zaman ini? Haruskah kita mencari penjelasan akhir dari malam gelap dalam kisah-kisah tersebut? Tidak adil bila kita meragukan niat baik, idealitas dan kedermawanan sekian banyak orang yang merasa dipanggil oleh Yesus untuk menjadi murid-Nya. Tetapi, niat baik dan kedermawanan dirasa kurang cukup menguatkan iman. Cukup banyak orang kembali ke cara hidup mereka yang lama, seperti para murid di jalan ke Emaus. Persoalan yang menyedihkan adalah situasi di mana cukup banyak orang yang tetap bertahan sebagai orang kristen, kurang memiliki iman akan kehidupan mereka, kehilangan antusiasme akan perutusan mereka, kekecewaan, kurang harapan akan adanya perubahan sekecil apa pun, seperti yang dialami oleh para murid di jalan ke Emaus.
Ada banyak alasan yang membuat orang kehilangan harapan. Salah satu di antaranya karena tidak punya pegangan hidup yang jelas dan kuat. Secara prinsipiil, yang seharusnya menjadi pegangan hidup kita adalah Yesus yang bangkit. Dialah yang seharusnya kita ikuti. Dialah yang seharusnya menjadi tumpuan hidup kita, baik dalam situasi yang membahagiakan maupun menyedihkan. Dialah yang menemani kita ketika kita harus memikul salib hidup kita. Dalam keyakinan akan salib Tuhan, kita dikuatkan untuk bertahan, untuk tetap berharap dalam situasi berat dan tidak menjadi putus asa. Relasi pribadi yang akrab dengan Tuhan diperlukan. Maka tidak mengherankan jika kita tidak punya pegangan pada Tuhan sendiri, kita akan mudah putus asa atau mengeluh sepanjang hidup jika mengalami tugas, hidup, dan situasi yang sangat berat dan tidak tertahankan.
Kadang banyak orang merasa gagal dan putus asa karena tidak dapat melihat adanya alternatif dalam tantangan yang baru. Yang dilihatnya adalah kesulitan dan beratnya saja. Yang dilihat adalah unsur gelapnya saja, kurang melihat adanya secercah terang di dalamnya; kurang mampu melihat bahwa kedekatan dengan Tuhan jauh lebih penting daripada situasi malam gelap hidupnya
Ada yang putus asa karena yang dicari dalam hidup dan pelayanan adalah kemuliaan dan gengsi dirinya sendiri. Dia selalu ingin berhasil baik, tetapi selalu mengharapkan bahwa semua orang memujinya serta menghargai keberhasilannya. Maka, ketika suatu hari ia mengalami kegagalan, dia frustrasi dan putus asa. Orang seperti ini kiranya perlu dibantu untuk menerima kegagalan dengan rendah hati. Orang seperti ini perlu dibantu untuk menyadari bahwa tujuan dari karya atau pelayanan yang kita lakukan bukannya untuk kemuliaan kita sendiri, tetapi demi kemuliaan Allah.
Memakai perumpamaan Injil, kita dapat menyimpulkan bahwa banyak orang mencoba membangun rumah mereka di atas pasir. Kemuridan sebelum paskah digerakkan oleh niat baik, tetapi kurang memiliki landasan iman yang kokoh dan radikal. (Lihat bagian kedua…)
.