BUDAYA HIDUP SEHAT vs COVID-19

Coronavirus

Budaya Hidup Sehat

vs

Covid-19

Sampai sekarang, di seluruh dunia sudah terkonfirmasi 23,518,343 penderita COVID-19. Kasus baru mencapai 206,382. Nyawa yang melayang berkisar 810,492. Lalu, bagaimanakah kita menyikapi keadaan ini? (WHO, 25/8/2020)

  1. Hidup sehat sebuah tanggung jawab

Sebagai “teka-teki” yang belum terkupas, hidup manusia bisa disorot dari pelbagai disiplin. Pengalaman umum dan refleksi rasional menunjukkan bahwa hidup manusia pada dasarnya adalah baik, sesuatu yang bernilai dalam dirinya, dan dalam hubungan dengan sesama dan lingkungannya. Dalam langgam bahasa iman-kepercayaan, hidup manusia dipahami sebagai anugerah istimewa yang berasal dari Allah Pencipta (Kej. 2:7). Hidup manusia adalah milik Sang Pencipta, sedangkan “hak pakai” berada dalam tangan manusia.[1]

Dalam dirinya, hidup manusia sudah berharga. (Peng)harga(an) ini berasal dari Sang Pencipta. Keluhuran martabat manusia berasal dari Dia. Nilai hidup manusia bukan pertama-tama tergantung dari diri manusia, sebab Sang Pencipta telah menanamkan nilai dalam diri manusia. Ini tampak dalam perintah Yahweh yang melarang manusia untuk membunuh sesama manusia (Kel 20:13). Meniadakan hidup orang lain berarti merebut kuasa dan hak Sang Pencipta; bahkan tindakan ini melawan perintah Sang Pencipta.

Kekudusan dalam hidup manusia berasal dari Sang Pencipta. Sebagai anugerah, hidup manusia adalah kudus. Tubuh manusia menjadi “kuil lahiriah” bagi jiwa manusia; manusia dipandang sebagai roh berbadan; jiwa menjadi aspek terdalam keberadaan manusia. Manusia dilukiskan sebagai badan beroh. Namun, kaum sekularis menolak pandangan bahwa secara intrinsik hidup manusia adalah baik dan bernilai. Mereka berpandangan bahwa manusia adalah hasil kreasi biologis tanpa dimensi kerohanian. Justru itu, manusia berhak untuk menentukan hidup sesuai dengan keinginan atau kepentingan mereka.[2]

Sebagai bagian integral dalam hidup manusia, kesehatan mencerminkan keadaan seseorang yang melakukan yang terbaik dengan kapasitas yang dimiliki; tindakan-tindakannya memaksimalkan kapasitas dalam dirinya. Tentu, kesehatan tidak hanya terbatas pada penggunaan kapasitas organisme, karena makna kesehatan terkait dengan kultur dalam artian luas. Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan kesehatan sebagai keadaan seseorang yang mencakup kesejahteraan fisik, mental dan sosial. Kesehatan di sini tidak hanya berarti tanpa penyakit.[3]

Hidup sehat termasuk salah satu tanggung jawab utama setiap anak manusia, sebab hidup manusia adalah anugerah (Gabe) yang juga mengandung tanggung jawab (Aufgabe). Setiap manusia wajib memelihara hidup, kesehatan dan integritas tubuhnya melalui makanan, pakaian, perumahan, dan rekreasi. Peraturan-peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan seharusnya membangkitkan kesadaran hati nurani tentang pentingnya pelayanan bagi kesehatan publik.[4]

2. Penyakit sebagai sebuah kritik

Salah satu gejala eksistensial manusia adalah penyakit yang pada hakikatnya menggerogoti kesehatan manusia. Bagaimanakah pandangan kontemporer tentang penyakit? Penyakit, kata Weizsaecker, adalah kritik atas hidup, pola hidup, irama hidup dan relasi manusia dengan sesama dan lingkungan hidup. Manusia hidup di luar norma kesehatan. Lunturnya kesadaran dan tanggung jawab moral, ketidakteraturan hidup harian, ketidakbersihan, kecerobohan, kerakusan dan kenikmatan dalam pengelolaan hidup ternyata mendatangkan aneka ragam penyakit. Pada dasarnya penyakit mencerminkan penyimpangan-penyimpangan dalam fisik (dan terkadang psikhe) manusia. Salah satu bagian tubuh yang sakit akan memengaruhi seluruh tubuh manusia.[5]

Penyakit mencakup kekacauan atau gangguan atas tatanan normal perjalanan organisme manusia yang sehat, yang merusak kemampuan organisme untuk berkembang dengan baik. Penyakit termasuk seperangkat symptom dan tanda-tanda, hasil atau dampak pathofisiologi (skema-skema yang rusak yang kambuh kembali). Penyakit adalah formulasi dari pathofisiologi yang rusak berdasarkan paham-paham keterkaitan antarunsur yang saling berhubungan. Kesakitan adalah pengalaman seseorang akan penyakit. Penyakit selalu terkait dengan seluruh sistem dan mekanisme kerja dalam tubuh manusia.[6]

Kelalaian dan kesalahan manusia dalam pemeliharaan kesehatan mendatangkan penyakit lahir dan batin. Tubuh menderita, batin terdera. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Hubungan antara tubuh dan jiwa manusia tak tersangkalkan. Penyakit ini muncul karena manusia lalai mengatur cara hidup sehat. Tanpa melupakan faktor penyakit bawaan, kebanyakan penyakit muncul dari makanan, minuman dan cara hidup manusia yang mengabaikan nilai kesehatan. Lingkungan hidup dan pergaulan tak sehat akan menularkan penyakit. Kemampuan fungsional tubuh manusia belum diwujudkan secara penuh.[7]

Dengan sinis seorang dokter melontarkan kritik atas cara hidup manusia modern. Secara kurang sadar manusia menggunakan sendok dan garpu untuk menggali liang lahatnya. Dengan leluasa manusia menyendok dan menggarpu apa pun yang ingin dinikmatinya. Pembatasan diri dalam makan dan minum akan menolong manusia untuk mengolah kesehatan dengan baik. Tidak semua jenis makanan wajib saya kecap dan nikmati. Sejumlah larangan medis perlu diperhatikan dengan bijaksana, sehingga tidak menimbulkan penyakit yang merusak kesehatan. Sendok, garpu, makanan dan minuman seharusnya menjadi sarana yang mendukung kesehatan manusia.

          Pada dasarnya penyakit mengundang manusia untuk merefleksikan dan memperbaiki seluruh sistem dan mutu hidupnya selama ini. Pola hidup yang tidak sehat akan mendatangkan penyakit. Biasanya, setelah mendapat kejelasan tentang jenis dan status penyakit, seseorang baru mulai dengan lebih serius mengatur hidupnya. Jadwal hidup harian, makanan, minuman, kerja dan pikiran akan ditata dengan lebih bijaksana, sehingga manusia arif mengatur dan memanfaatkan waktu dengan bertanggung jawab. Istirahat yang memadai termasuk salah satu unsur penting dalam hidup manusia, sehingga tubuh manusia mendapat kesempatan untuk menenangkan diri. Manusia modern yang lebih memprioritaskan karier dan prestasi umumnya melalaikan atau menyingkirkan makna “istirahat” dalam hidup sehari-hari.  Tubuh manusia tidak bisa disamakan dengan seperangkat mesin, yang tidak memiliki jiwa atau roh.

3. Bagaimana menghadapi COVID-19?

Seperti penyakit-penyakit lain COVID-19 sudah menjadi salah satu penyakit yang berada di samping kita. Virus ganas, si “corona” akan menyerang saluran pernafasan. Kenyataan ini harus kita hadapi dan sikapi dengan bijaksana. Dari satu sisi kita tidak perlu terlalu takut menghadapi virus ini, namun dari sisi lain kita tidak bisa anggap remeh virus ganas ini. Sebuah sikap bijaksana dan hati-hati sangat diperlukan. Protokol pemerintah dalam proses new normal ini tidak bisa diabaikan. Syarat minimal, seperti penggunaan masker, menjaga jarak, dan cuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, harus dipatuhi dengan disiplin diri. Lalu, bagaimanakah langkah umum yang perlu ditempuh menghadapi virus ini?  

3.1 Pentingnya pendidikan[8]

Langkah awal dalam proses pencegahan penyakit adalah pendidikan dan pembinaan di tengah-tengah masyarakat majemuk. Tidak semua anggota masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai dan benar tentang COVID-19. Latar belakang atau sejarah munculnya penyakit ini, sistem penularan, dan akibat-akibat fatal penyakit ini sebaiknya/seharusnya menjadi bahan utama penyuluhan di tengah-tengah masyarakat. Sekarang COVID-19 sudah menjadi tema pembicaraan umum di pasar, kopitiam, dan ruang-ruang publik. Anak-anak dan kaum remaja pun pernah mendengar penyakit ini. Setelah mengenal jenis penyakit yang berbahaya ini, kita sebaiknya mengambil langkah-langkah pencegahan.

Pengetahuan dasar tentang penyakit ini seharusnya disosialisasi melalui keluarga masing-masing, sehingga setiap anggota keluarga memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyakit ini. Orang tua sebagai pendidik perdana bertanggung jawab untuk memberikan keterangan dan penyuluhan bagi anggota keluarga, sanak-famili dan handai taulan. Malah, orang tua seharusnya menjaga diri sehingga tidak tertular atau terjerat virus ini. Tugas pokok orang tua sebagai pendidik dalam setiap keluarga akan menolong anggota keluarga untuk menghindari serangan virus ini. Pola hidup bersih, sehat dan bertanggung jawab perlu ditanamkan dalam diri anak sejak usia dini.

Selain keluarga, dunia pendidikan formal berperan penting dalam menghadapi dan mengatasi virus ini. Sejak di SD, anak-anak didik telah mengenal pendidikan jasmani (penjas) atau olah raga, yang pada hakikatnya ingin menolong anak-anak didik untuk mengolah dan memelihara kesehatan. Dunia pendidikan formal seharusnya menjadi agen penyalur nilai-nilai hidup sehat, sehingga anak didik bisa dengan cerdas membedakan dan memilih langkah-langkah yang tepat dalam hidup mereka. Keluarga dan sekolah bertanggung jawab sebagai “a moral socializer of children”. Pendidikan tentang pentingnya kebersihan dalam hidup sehari-hari sangat jarang diperhatikan. Anak-anak didik jarang dilatih untuk membuang sampah pada tempatnya, membersihkan diri semestinya, mencuci tangan sebelum makan dan mengenakan pakaian bersih, walaupun sederhana.

Pendidikan informal lewat masyarakat pun sangat penting. Setiap warga masyarakat yang berusia dewasa turut bertanggung jawab dalam proses mencegah, mengurangi dan menolong penderita COVID-19. Setiap warga masyarakat yang baik ikut bertanggung jawab atas kesehatan dalam masyarakat dengan menjadi “guru” yang baik bagi anak-anak, kaum muda, orang dewasa dan bahkan orang tua yang ingin menjauhkan diri dari pengaruh penyakit ini. Kehadiran dan penyebaran COVID-19 di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perilaku dan peran anggota masyarakat setempat.

3.2 Pembinaan watak sejak dini

Dalam Educating for Character, Thomas Lickona menyoroti bahwa pendidikan moral sedang merosot. Sambil menyitir paham darwinisme, dia melukiskan bahwa seperti hidup biologis manusia adalah produk evolusi, hidup moral manusia juga mengalami proses evolusi. Sebuah survei psikologis tahun 1980-an di Amerika Serikat, yang menjaring pendapat dari 24.000 pembaca dengan 49 pertanyaan, menunjukkan bahwa 41% dari kaum muda masih berkendaraan pada waktu sedang mabuk atau dipengaruhi oleh obat-obat terlarang; 33% menipu teman terbaik mereka tentang sesuatu yang penting di tahun silam; 38% menipu dalam bidang perpajakan; 45% dari responden telah menipu pasangan perkawinan mereka.[9]

Pandangan hidup dan perilaku manusia sebagai makhluk bajik sangat diperlukan dalam mengarungi dunia yang mulai kehilangan orientasi hidup. Kesehatan sebagai salah satu nilai dasar dalam hidup manusia tak bisa diabaikan sedikit pun. Sosialisasi dan internalisasi nilai ini menjadi modal dan kekuatan hidup seorang anak di masa depan. Lingkungan pendidikan yang sehat dalam keluarga dengan sendirinya akan memengaruhi kepribadian dan perilaku seseorang.

Sejak awal anak-anak dididik untuk membedakan apa yang baik, jahat, boleh, tidak boleh, jujur dan tidak jujur. Jika nilai-nilai ini sungguh ditanam oleh orang tua dan sanak-famili, maka biasanya seorang anak akan sanggup membedakan, memilih dan memutuskan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan. Prinsip hidup sebagai anak manusia sudah diperkenalkan dan dibentuk sejak dalam keluarga. Pembinaan watak seseorang seharusnya dimulai sejak usia dini dalam keluarga masing-masing. Dalam usia dini, umumnya anak-anak belum terpolusi oleh pelbagai pengaruh buruk dan mereka akan lebih mudah menerima dan mewujudkan nilai-nilai itu.

Pembentukan watak tidak terpisahkan dari pembinaan hati nurani yang baik, benar dan tidak menyesatkan sebagai pribadi yang berada di tengah-tengah masyarakat. Pembinaan hati nurani sebaiknya sejak seseorang berusia dini dan diperhatikan sungguh-sungguh oleh orang tua, guru dan lingkungan hidupnya. Hati nurani yang baik, benar dan jujur akan menentukan watak, pandangan hidup dan pola perilaku seseorang. Watak yang baik umumnya akan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kesehatan dan kesejahteraan setiap pribadi. Watak yang berbasis hati nurani yang baik memungkinkan manusia untuk mengambil sikap yang benar dan tepat dalam menghadapi COVID-19.

3.3 Kebersihan lingkungan

Salah satu faktor penting yang bisa mempercepat dan memperlambat penyebaran COVID-19 adalah kebersihan lingkungan yang mencakup dalam unsur-unsur ekologis, pola dan gaya hidup bersih, dan keadaan sosial yang bersih. Lingkungan dalam konteks ini tidak hanya mencakup keadaan alam, makhluk ciptaan, udara, air dan suasana hidup.

Mengapa perlu menghargai dan merawat kebersihan? Adagium klasik mengingatkan bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan. Titik tolak hidup sehat adalah kebersihan. Sejumlah penyakit ditimbulkan oleh keadaan  lingkungan hidup yang tidak/belum bersih. Polusi udara, air, tanah, makanan, minuman dan pergaulan tidak sehat bisa menimbulkan penyakit.

Kebersihan lingkungan mencakup kondisi hidup masyarakat yang berkebajikan sehingga sanggup membedakan apa yang baik, jahat, sehat dan sakit. Pribadi bajik umumnya akan memilih yang bernilai dalam hidup sehari-hari. Kesehatan termasuk salah satu nilai integral dalam hidup manusia. Keberanian manusia untuk menolak sebuah tawaran yang tidak sehat mencerminkan kebajikan manusia mengambil sikap yang tepat.

Kebersihan lingkungan pada dasarnya menyentuh komponen alam (air, udara, tanah dan makhluk hidup tak berbudi) dan manusia yang menciptakan lingkungan hidup yang bersih sebagai tempat hidup dan berkembangnya manusia. Kebersihan lingkungan ikut menghambat perkembangan penyakit, termasuk COVID-19.

3.4 Lingkungan yang sehat

Pergaulan yang sehat umumnya mencari lingkungan yang sehat, sehingga mereka yang terjun dalam masyarakat tidak mudah tercebur atau terperangkap dalam kehidupan yang tidak sehat. Rambu-rambu pergaulan yang sehat lebih mengutamakan etiket pergaulan yang menjunjung nilai sopan-santun, saling menghormati, sehat dan memupuk persaudaraan yang mendatangkan dampak positif. Dampak negatif pergaulan tidak sehat perlu diwaspadai, sehingga pengaruh COVID-19 dapat disikapi dengan kritis dalam kehidupan sosial dalam masyarakat.

Lingkungan yang sehat akan terwujud kalau setiap anggota masyarakat menyumbangkan yang terbaik bagi kepentingan hidup bersama. Segenap keluarga aktif mempromosikan sikap untuk memerangi COVID-19. Langgam pergaulan, penyajian makanan-minuman dan kondisi sosial, ekonomi dan kebudayaan yang sehat termasuk jaringan yang diperlukan dalam menghadapi dan menghindari COVID-19 di tengah masyarakat majemuk. Tentu, lingkungan yang sehat ini dimulai dari diri-sendiri, keluarga, sekolah, lingkungan kerja dan seluruh masyarakat. Setiap anasir sosial bakal menjadi faktor hidup sehat dan bermasa depan.

Lingkungan ini tidak terwujud dengan sendirinya, melainkan  perlu diusahakan bersama dengan menjunjung prinsip hidup sehat. Lingkungan ini akan terwujud kalau setiap anasir sosial sungguh mau bekerja sama demi kepentingan orang kecil dan sederhana. Setiap anasir dalam masyarakat diharapkan menyadari tanggung jawab untuk menciptakan suasana hidup dan kerja yang sehat. Lingkungan ini umumnya lebih mengutamakan relasi antaranggota masyarakat berdasarkan kesejahteraan bersama.

3.5 Membangun Budaya Hidup Sehat

Menghadapi pola hidup yang negatif ini, sekaranglah waktunya untuk membangun budaya hidup sehat dalam artian luas. Hidup sehat dalam konteks ini mencakup seluruh keadaan hidup manusia yang sejahtera secara lahirian (fisik), akal budi (mental) dan sosial. Tentu, pola hidup sehat tidak hanya berarti tanpa penyakit. Pola hidup sehat mencakup seluruh pribadi manusia, seperti pandangan hidup, pola perilaku karena pengaruh kedudukan, uang dan kedangkalan pemikiran, dan pengaruh lingkungan yang tidak sehat.[10]

Proses pembangunan budaya hidup sehat perlu menempuh beberapa langkah penting berikut ini: (1) Revisi pandangan hidup; (2) Teologi tentang tubuh; (3) Mendalami makna hidup sehat. Langkah-langkah perlu diulang terus, sehingga membentuk suatu kebiasaan dalam hidup harian.

Pertama, revisi atas pandangan hidup termasuk syarat mutlak dalam proses memasuki babak baru dengan mutu hidup yang lebih baik dari waktu ke waktu. Penularan COVID-19 sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup liberal dan hedonis. Pandangan hidup liberal menekankan kebebasan manusia sebagai nilai yang unik dan mutlak. Seseorang bisa dengan leluasa menentukan diri-sendiri dan melakukan apa pun tanpa memikirkan orang lain dan lingkungannya. Yang didahulukan adalah keinginan, kehendak atau kemauan dalam hidup sehari-hari. Dorongan keinginan dalam diri manusia menjadi motivasi utama tindakan seseorang. Hidup manusia diungkapkan dalam kebebasan mutlak. Sah atau tidaknya tindakan manusia tergantung pada dimensi kebebasan manusia.[11]

Sementara itu, pengaruh pandangan hedonisme masih kuat dalam hidup manusia. Pandangan ini menganggap bahwa pencarian kebahagiaan seseorang adalah kriteria yang sah untuk penilaian atas tindakan, dan tujuan yang memadai bagi hidup manusia. Kesenangan dan kenikmatan menjadi tujuan utama tindakan manusia. Pandangan ini terkait dengan epicurianisme sejak Epicurus (341-270 SM), yang menekankan bahwa kebahagiaan dan hidup kenikmatan dipandang sebagai kebaikan tertinggi.[12] Manusia modern masih mendewakan pandangan hidup ini, karena manusia cenderung untuk melakukan apa pun yang bisa mendatangkan “kebahagiaan” atau “kesenangan” sementara dalam hidup manusia. Pertimbangan paham konsekuensialisme acap kali dilupakan dalam praksis hidup harian. Padahal, setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi yang harus dihadapi dan dipikul.

Kedua, teologi tentang tubuh sangat penting dalam diskursus tentang membangun budaya hidup sehat. Dalam refleksinya tentang Kejadian, Sri Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi peran tubuh manusia untuk mengungkapkan keluhuran martabatnya. Keluhuran pribadi manusia tercermin dalam tubuhnya, kesanggupan manusia untuk bernalar, memilih dan memutuskan, yang tidak ditemukan dalam makhluk hidup lain. Tubuh manusia menghadirkan sesuatu yang tak tampak dan tak tersentuh oleh pandangan manusia. Tubuh manusia mencerminkan realitas dunia yang kelihatan. Keluhuran martabat ini mengundang setiap manusia untuk memelihara atau merawat kesehatan tubuh dengan baik dan terlepas dari unsur-unsur luar yang bisa mengganggu atau merusak sistem kesehatan manusia. Jika manusia sungguh menghargai keluhuran tubuhnya, maka dengan sendirinya dia akan membentengi dirinya sehingga tidak terjangkit COVID-19 yang sedang merebak di tengah masyarakat modern. Kesadaran akan keluhuran harkat dan martabat mendorong manusia untuk membuat jarak dengan aneka bentuk tindakan yang mengundang penyakit ganas yang belum terobati.

Ketiga, membudayakan pandangan bahwa hidup sehat adalah bagian integral hidup manusia. Terdapat dua adagium yang tepat dibudayakan di tengah masyarakat kita. (1) Adagium “budi yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat” (“mens sana in corpore sano”). Kesehatan tubuh atau jasmani seseorang akan memengaruhi seluruh sistem atau pola pikir orang itu. Tak heran, umumnya mereka yang sehat memiliki pola pikir yang baik, positif, optimis dan kurang curiga. Sementara itu, mereka yang sakit mempunyai pola pikir yang cenderung kurang positif, curiga dan terkadang destruktif. (2) Adagium “kesehatan adalah      kesejahteraan” (“health is wealth”) berlaku juga dalam kasus COVID-19. Penyakit dengan sendirinya menguras keuangan negara, karena seorang pasien akan berurusan dengan proses pengobatan. Biaya pemeriksaan dan pengobatan umumnya tidak murah. Namun, bagi mereka yang sehat dengan sendirinya terhindar dari biaya pengobatan. Tidak sedikit dana pemerintah yang harus dikeluarkan untuk menangani COVID-19.

Kesimpulan

          COVID-19 harus dihadapi dalam semangat kebersamaan. Kelalaian seseorang akan mendatangkan dampak bagi yang lain. Infrastruktur utama yang bisa dibangun sekarang adalah menyadarkan masyarakat tentang bahaya virus ini berada di tengah-tengah kita. Tidak sedikit korban sudah berjatuhan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kesadaran ini menuntut tanggung jawab moral dan mutu hidup yang lebih sehat sebagai makhluk berakal budi. Infrastruktur ini perlu didukung oleh lingkungan hidup yang sehat dalam artian luas. Ini termasuk tanggung jawab pemerintah dan setiap warga masyarakat.

          Yang harus segera terbangun adalah budaya hidup sehat, yang mencakup perubahan pandangan hidup manusia modern, makna teologis tentang tubuh sangat penting, penggalian makna hidup sehat, dan penciptaan lingkungan hidup yang bersih. Harus diakui, langkah-langkah penting ini tidak mudah. Bagaimanapun, langkah pertama harus diambil dengan tepat, sehingga langkah-langkah berikut tidak sampai sesat. Yang terpenting adalah masing-masing bertanggung jawab atas hidup dan kesehatan, supaya setiap manusia dapat menunaikan tugas panggilan dengan baik.

P. William Chang, OFMCap

Sumber Bacaan

Buku

Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Dupré, Ben. 50 Ethics Ideas: You Really Need to Know. London: Quercus Editions Ltd., 2013.

Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Auckland: Bantam Books, 1992.

Peschke, Karl H. Christian Ethics: Moral Theology in the Light of Vatican II: Special Moral Theology. Alcester: C. Goodliffe Neale, 1990.

Preamble to the Constitution of the World Health Organization as adopted by the International Health Conference, New York, 19-22 June 1946, signed on 22 July 1946 by the representatives of 61 States (Official Records of the World Health Organization, no. 2, p.100) and entered into force on 7 April 1948.

Tettamanzi, Dionigi.Bioetica: Nuove frontiere per l’uomo. Casale Monferrato: Edizioni Piemme, 1992.

Jurnal

Chang, William. “Budaya Hidup Sehat,” Jurnal Ledalero, Vol 14, No. 2, Desember 2015.

Daly, Patrick R. “A theory of health science and the healing arts based on the philosophy of Bernard Lonergan,” Theor Med Bioeth (2009): 30, 152.


[1]Dionigi Tettamanzi, Bioetica: Nuove frontiere per l’uomo (Casale Monferrato: Edizioni Piemme, 1992), 55.

[2]Ben Dupré, 50 Ethics Ideas: You Really Need to Know (London: Quercus Editions Ltd., 2013), 164-165.

[3] WHO, Our planet, our health, 6.

[4]Karl H. Peschke, Christian Ethics: Moral Theology in the Light of Vatican II: Special Moral Theology (Alcester: C. Goodliffe Neale, 1990), 308-309.

[5]William Chang, Bioetika: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 92-93.

[6]Patrick R. Daly, “A theory of health science and the healing arts based on the philosophy of Bernard Lonergan,”, Theor Med Bioeth (2009) 30, 152.

[7]Bdk. H. Tristram Engelhardt, “Health and Diseases, Values in Defining”, New Dictionary of Christian Ethics (London: SCM Press Ltd., 1992), 261-262. Penyakit acap kali dipandang sebagai kegagalan manusia untuk mencapai kemampuan fungsional tubuh manusia dan pembebasan dari rasa sakit.

[8]Tettamanzi, Bioetica…, 359-360.

[9]Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Auckland: Bantam Books, 1992), 7-19.

[10]Preamble to the Constitution of  the World Health Organization as adopted by the International Health Conference, New York, 19-22 June 1946, signed on 22 July 1946 by the representatives of 61 States (Official Records of the World Health Organization, no. 2, p.100) and entered into force on 7 April 1948.

[11]Chang, Bioetika, 17-18.

[12]Christoph Delius and Matthias Gatzemeier, Daniz Sertcan, Kathleen Wuenscher, The Story of Philosophy: From Antiquity to the Present (China: h.f. ullmann, 2013), 113.