Marieta, Memberi Karena Mau

Marieta, Memberi Karena Mau

Hampir setiap hari Minggu sekitar pukul 8 pagi Marieta sudah berdiri di depan pintu gereja. Gadis cilik yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar itu diberi kepercayaan untuk menjadi pengajar Sekolah Minggu di Stasi Trans SP2, stasi terjauh dari pusat Paroki Singkawang. Satu kepercayaan yang terlalu besar dipikul oleh seorang anak seusia itu.  Satu demi satu anak-anak mulai berdatangan. Tanpa dikomando mereka pun langsung masuk gereja dan duduk di bangku paling depan. Seperti layaknya seorang guru Marieta langsung mengambil posisi. Dia berdiri menghadap anak-anak yang sudah  duduk rapi dan mulai memberi aba-aba untuk segera bernyanyi lagu-lagu rohani.  Dengan panduan  Marieta mengalunlah lagu-lagu rohani dari mulut anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Senandung lagu rohani itu terasa makin “sempurna” karena disertai dengan tarian. Hampir setiap lagu ada gerakannya. Anak-anak menari mengikuti  gerakan gurunya. Kadang disertai  derai tawa karena lebih sering anak-anak menari dan menyanyi semaunya sendiri.  Lagu yang terdengar lebih sering lari dari notasinya. Tarian mereka pun kadang tidak harmonis dan tidak serasi. Sifatnya lebih spontan. Tetapi tidak tergambar suasana kaku yang menakutkan. Justru dengan bebas dan polos anak-anak bernyanyi dan menari memuji Tuhan.

Meski jauh dari kisi-kisi pelajaran agama Sekolah Minggu yang disusun oleh Komisi Liturgi, tetapi Marieta sudah bisa mengajak anak-anak bergembira memuji Tuhan. Dalam pelajaran Sekolah Minggu yang diberikannya tidak ada yang namanya bacaan Kitab Suci. Tidak ada yang namanya merenungkan sabda Tuhan. Tidak ada doa pembukaan dan doa penutup yang tersusun rapi.  Marieta hanya sekedar mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bagi Tuhan.  Menuntut yang lebih jelas tidak mungkin dari seorang anak kecil yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Modal Marieta hanyalah kemauan yang kuat. Yang penting anak-anak bisa bergembira dan sudah dibiasakan untuk memuji Tuhan pada hari Minggu. Itu sudah cukup baginya.

Beberapa waktu lalu ketika aku turne ke Stasi Trans SP2. Sehabis pelajaran Sekolah Minggu aku lihat wajah Marieta tampak murung. Seperti ada beban yang dipikirkannya. Karena penasaran aku dekati Marieta dan bertanya kepadanya.

            “Kok Marieta sedih hari ini? Marieta sakitkah?” tanyaku. Marieta hanya menggelengkan kepalanya dan tertunduk agak lesu.
            “Lalu kenapa? Boleh pastor tahu?” tanyaku sekali lagi.

Sambil mengangkat kepalanya, Marieta berkata dengan suara lirih. Hampir tidak terdengar sama sekali.

           “Pastor, Marieta sebentar lagi akan pindah. Mau melanjutkan sekolah ke SMP di Capkala. Nanti tidak ada lagi yang mengajak adik-adikku ini benyanyi dan menari lagi”. Kembali kepalanya tertunduk memandangi lantai gereja yang mulai keropos.

 

 

Marieta in action

Mendengar jawaban polos dari bocah kecil itu aku hanya bisa melongo. Hanya bisa diam dan membisu. Tiba-tiba saja  terasa ada genangan air di mataku yang mau  jatuh tertumpah. Kerongkonganku pun terasa kering.  Tidak tahu aku harus omong apa. Hanya ada rasa haru bercampur rasa syukur. Bocah seusia Marieta punya  hati yang murni untuk memberikan dirinya. Padahal dia tidak mendapat imbalan apapun dari tugasnya sebagai  pengajar Sekolah Minggu. Tetapi dia bisa merasakan kesedihan. Bukan sedih karena harus pergi dari kampung halamannya. Tetapi sedih  karena harus meninggalkan adik-adiknya. Marieta bukan berpikir untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk adik-adiknya. Semangat pengorbanan tanpa pamrih, yang disertai perhatian terhadap orang lain.

Perjumpaan dan pembicaanku dengan Marieta yang sangat singkat waktu itu memberi banyak pelajaran kepadaku. Marieta mengajari aku bahwa untuk bisa memberikan diri tidak harus kaya dan mempunyai banyak. Tidak sama sekali. Marieta baru kelas 6 Sekolah Dasar. Dia tidak punya pemahaman bagaimana seharusnya menjadi guru. Dia juga tidak pernah ikut kursus menjadi guru Sekolah Minggu. Modal yang dia punyai hanyalah kemauan yang tulus. Dan ini sudah lebih dari cukup. Buktinya Marieta bisa mengajak adik-adiknya bernyanyi memuji Tuhan pada hari Minggu. Ketika dia harus pergi karena melanjutkan sekolahnya, perhatiannya masih tertuju untuk adik-adiknya. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukanku dengan gadis cilik yang tahu apa artinya memberikan diri. Bukan karena mampu, tetapi karena mau. Terimakasih Marieta,  engkau juga mengajariku bagaimana itu memberikan diri. Andaikata dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti kamu Marieta, pasti akan terasa sangat indah.

P. Stephanus Gathot, OFMCap

Anak Sekolah Minggu Stasi Trans SP2